Monday, April 11, 2005

Seminar untuk Hari Kartini

Mau ngadain seminar lagi nih.. kali ini dalam rangka Hari Kartini. Pembicaranya tetap, dari Telkom Training Centre Makassar. Topiknya juga tetap seputar optimalisasi diri. Karena dalam rangka hari Kartini dan yang ngadain organisasi ibu-ibu jadi judulnya menjadi: Brainware Management. Optimalisasi Diri Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga. Sebenernya ini bisa dibilang proyek sumbangan.. gimana engga sumbangan.. pembicaranya gratis.. fasilitas semua pinjeman termasuk infokus yang minjem dari kantor suami. Tapi rencananya kali ini mau minta sponsor ke Telkom Flexi buat jadi sponsor tunggal. Kebalikannya, saya ngejanjiin akan buat spanduk dan undangan dengan logo flexi.. trus mereka juga boleh masang umbul-umbul. Surat dan proposalnya udah disiapin, suami udah kirim e-mail ke “sasaran” he-he minta appointment. Mudah-mudahan bisa dikabulin ya.. kalo engga ya harus ngejalanin Plan B. Yaitu, ngajak penerbit Mizan buat bikin bursa buku, trus mereka diminta bikinin spanduk 2 lembar. Sewa gedung bisa dapet dari penjualan tiket ke beberapa ‘sasaran’.
Niat baik pasti selalu ada jalan kok… mudah-mudahan aja peringatan hari kartininya jadi agak beda sedikit; daripada lomba melulu…. Kasian kan Ibu Kartini kalo hanya dikenang dengan sekedar berlomba ria.

Monday, April 04, 2005

Pengalaman Pergi Haji 2005


Pengalaman berhaji tidak pernah sama bagi setiap orang, bahkan bagi 2 juta jemaah haji pun, masing-masing mempunyai pengalaman yang berbeda satu sama lainnya. Dalam tulisan ini saya hanya ingin sedikit berbagi pengalaman emosional saya saat melaksanakan ibadah haji th. 2005 ini.

Pelaksanaan ibadah kerap diiringi dengan berbagai perasaan yang berkecamuk.

Perasaan emosional pertama yang saya alami adalah ketika pertama kali melihat Masjidil Haram dan Ka’bah yang begitu agung pada suatu dinihari sebelum saya dan suami memulai Thawaf Qudum, yakni Thawaf selamat datang. Saat itu tubuh saya bergetar, saya berhenti sejenak, Subhanallah… ucap saya sambil mengusap wajah. Selama berada di Mekkah, entah mengapa saya sangat menikmati pelaksanaan Thawaf mengelilingi Ka’bah ini, meskipun untuk itu setiap pagi saya harus bangun jam 2.30 dinihari. Saya sangat menikmati berada dalam satu aliran manusia yang berpusar pada satu titik, melebur dengan ribuan manusia, berdesakan, terdorong dan tanpa identitas.

Selama pelaksanaan haji, entah berapa sering saya menangis.

Saya menangis ketika suatu saat yang tanpa diduga, pada saat saya akan memulai tawaf, suatu kelapangan dan kemudahan membawa saya langsung ke multazam, bagian dinding Ka’bah antara Hajar Aswad dan Pintu Ka’bah. Sesorang berpakaian putih dan bersorban merah, menarik beberapa laki-laki yang ada didepan saya dan serta merta memberi jalan kepada saya dan seorang teman untuk langsung sampai di tempat itu. Perasaan yang sangat luar biasa tatkala kedua telapak tangan ini dapat menempel di dinding tersebut. Beberapa saat saya hanya bisa menangis sambil mengucapkan kebesaran Allah….sampai seseorang meneriaki kami “berdoa! tempelkan pipi kanan ke dinding Ka’bah!” sambil menangis dan menempelkan pipi ke dinding multazam sayapun berdoa…

Saya juga kerap menangis ketika memanjatkan doa dibelakang Makam Ibrahim. Doa untuk anak-anak, keluarga, teman-teman dekat, kaum muslimin dan kerabat. Banyak yang menitipkan doanya, ada yang memohon untuk segera diberi keturunan, ada yang memohon untuk kelancaran usaha, dientengkan jodoh dan agar mendapat panggilan kembali untuk beribadah haji. Salah satu doa yang saya panjatkan adalah untuk seorang karyawan di Apotik Guardian Hero supermarket, sebut saja namanya Arman. Saat saya membeli masker, karyawan itu mendoakan saya semoga menjadi haji yang mabrur, dan dia pun meminta saya untuk mendoakannya semoga mendapat panggilan berhaji. Melihat kesungguhannya, sayapun mencatat namanya dalam nota kecil saya dan kemudian bersungguh-sungguh mendoakannya. Semoga Allah mendengar doa saya.

Saya kembali menangis ketika akhirnya diberi kesempatan untuk shalat 2 rakaat dan berdoa di Raudhah. Tempat dimana dulu Nabi biasa membacakan wahyu dan mengajarkan al-Islam kepada sahabat dekatnya, “Antara kamarku dan mimbarku terletak satu bagian dari taman surga”. Tak heran orang sangat berlomba untuk bisa ikut “menimati surga” yang ditandai dengan bentangan karpet hijau ini. Akibatnya, sangat sulit untuk sampai ketempat ini, perlu berdesakan, saling dorong, saling sikut, berhimpitan, terinjak bahkan kehabisan oksigen! Saat itu saya merasa begitu berkecil hati untuk dapat mampu berjuang sedemikian berat, apalagi suami saya memperingatkan supaya tidak terlalu memaksakan diri. Sayapun pasrah, tetapi hati kecil ini sangat ingin untuk bisa sampai ke raudhah. “Ya Allah, saya sudah sampai ditempat ini, ijinkanlah saya juga untuk bisa mengunjungimu di raudhah”. Satu pagi, dengan ijin suami, saya ikut salah sorang pembimbing kami. Sebagian teman sudah lebih dahulu mencapai Raudhah, ada yang mengantri dari subuh, ada yang pulang dengan kusut masai, bahkan ada yang shallat diatas kaki orang lain! Tapi mereka sangat bahagia, dan itulah yang membuat hati kecil ini”iri” dengan keberhasilan yang penuh perjuangan itu. Alhamdullilah pagi itu saya dan anggota rombongan diberi kemudahan oleh Allah SWT. Kami mendapat perlakuan yang sangat khusus sehingga tidak perlu berdesakan.

Dan ketika akhirnya sayapun dapat shallat 2 rakaat dan berdoa di karpet hijau raudhah… Subhanallah….. Kenikatan berada ditempat itu tidak bisa menahan saya untuk tidak menangis.. Saya merasa sangat takjub. Inikah kenimatan surga yang Engkau janjikan bagi umatMu?

Di Padang Arafah, ketika saya menghiba pengampunan , kembali saya menangis. “Ketika engkau melihat beribu-ribu manusia dari berbagai bangsa dan bahasa yang berbeda berkumpul bersama-sama, engkau akan ingat akan hari dikumpulkannya manusia pada hari kebangkitan.” (Al-Ghazali)

Perasaan-perasaan haru, syukur, dan berbagai rasa yang campur menjadi satu itulah yang kerap terwujud dalam tangis. Untungnya, tidak ada larangan untuk menagis, lebih-lebih untuk tangis bahagia dan syukur serta tangis kesadaran akan hakikat manusia sebagai mahluk yang “tanpa daya”.

Tetapi saya tidak menangis pada saat melaksanakan thawaf wada’ (thawaf perpisahan) sebelum meninggalkan Mekkah. Seperti saya ungkapkan sebelumnya, saya sangat menikmati ‘prosesi’ thawaf, melebur diri dalam satu aliran putaan arus lautan manusia. Perasaan saya sat itu hanyalah bahagia… rasanya seperti saya akan kembali ketempat itu lagi suatu hari nanti. Insya Allah….